PUKUL 01.30 Whitechapel berselubung gelap. Di sudut
jalan yang remang, seorang perempuan bercumbu dengan pria bersetelan
gelap. Sekitar 20 menit kemudian, perempuan itu ditemukan telah menjadi
mayat.
Itulah kali terakhir Catherine Eddowes terlihat di sudut
jalan itu, di St James’s Passage di kawasan Whitechapel, 30 September
1888. Catherine adalah korban keempat Jack The Ripper, pembunuh berantai
yang gemar memutilasi korbannya. Identitasnya tak pernah terungkap
hingga kini. Jack The Ripper menjadi legenda sadisme dari London, kota
abu-abu yang memancing rasa murung.
PUKUL 01.30 Whitechapel berselubung gelap. Di sudut
jalan yang remang, seorang perempuan bercumbu dengan pria bersetelan
gelap. Sekitar 20 menit kemudian, perempuan itu ditemukan telah menjadi
mayat.
Itulah kali terakhir Catherine Eddowes terlihat di sudut
jalan itu, di St James’s Passage di kawasan Whitechapel, 30 September
1888. Catherine adalah korban keempat Jack The Ripper, pembunuh berantai
yang gemar memutilasi korbannya. Identitasnya tak pernah terungkap
hingga kini. Jack The Ripper menjadi legenda sadisme dari London, kota
abu-abu yang memancing rasa murung.
Dua abad setelah pembunuhan
berantai itu, legenda Jack The Ripper yang mendunia masih membius dan
menjadi obyek wisata. Inilah salah satu contoh kreatif pengelolaan
turisme dengan bermodal narasi, tak semata keindahan kota ataupun
alamnya. Kendati hal itu berupa narasi keji dan pilu.
Gelap mulai
membayang ketika tiba di Tower Hill sekitar pukul 19.30. Udara dingin
merayapi tubuh. Musim semi baru beranjak pada awal April. Berbekal buku
kecil panduan ”tur swalayan” Jack The Ripper seharga 3 pounds (Rp
41.250), penyusuran jejak Sang Pembunuh dimulai. Wisata swalayan yang
cukup murah di kota mahal seperti London.
Berdasarkan buku
panduan, titik pertama yang harus disinggahi adalah St James’s Passage
yang bermuara di Mitre Square, tempat mayat Catherine Eddowes tadi
ditemukan. Lokasinya sekitar 20 menit berjalan kaki dari Tower Hill.
Panduan dalam buku mungil itu cukup deskriptif, dilengkapi peta,
cuplikan cerita seperti kesaksian orang yang melihat Catherine terakhir
kali, hingga arahan kanan dan kiri. Seluruhnya cukup ditempuh berjalan
kaki.
Buku panduan membawa saya ke lima lokasi pembunuhan para
korban The Ripper di kawasan Whitechapel. Kawasan ini tak menjanjikan
keindahan, hanya berbagai bangunan kelam, apartemen, perkantoran, masjid
(The East London Mosque), toko, dan juga bar. Beberapa bar lawas bahkan
terkait dengan Jack The Ripper. Sekali pun kuno, atmosfer bar-bar ini
amat nyaman, tak terasa angker.
Bar kuno itu, misalnya, Still and
Star Pub yang berdiri sejak tahun 1880, Hoop and Grapes Pub (tahun
1600), The White Hart Pub (1721), dan The Ten Bells (1753). Bar yang
terakhir diduga merupakan lokasi favorit The Ripper untuk minum-minum.
Annie Chapman yang mayatnya ditemukan di Hanbury Street masih sempat
bekerja di The Ten Bells pada malam dia tewas di ujung belati The
Ripper.
Lima korban
Para ripperologist
meyakini korban The Ripper adalah lima perempuan pekerja seks.
Pembunuhan oleh The Ripper itu adalah bagian dari peristiwa Whitechapel
Murders, yaitu pembunuhan 11 perempuan, yang tak pernah terungkap.
Kelima korban The Ripper itu adalah Mary Ann Nichols, Annie Chapman,
Elizabeth Stride, Mary Jane Kelly, dan Catherine Eddowes. Mereka dibunuh
pada Agustus-November 1888.
Kawasan Whitechapel di Timur London
memang merupakan kawasan merah, yang pada tahun 1888 menjadi lahan
nafkah bagi sekitar 1.200 pekerja seks. Ketika itu, kemiskinan yang
parah di London menjadikan wajah Whitechapel begitu muram. Pelacuran dan
kriminalitas amat marak di sini. Whitechapel juga melatari beberapa
cerita besutan pengarang asal Inggris Charles Dickens, misalnya dalam
karyanya yang muram, Oliver Twist (1838).
Soal siapa sebenarnya
Jack The Ripper, banyak teori yang beredar. Sebagian meyakini The Ripper
adalah seorang dokter bedah. Sebab, caranya memutilasi korban begitu
rapi mencerminkan keterampilan. Ada juga yang meyakini The Ripper adalah
seorang tukang daging.
Seiring malam yang kian larut, beberapa
lorong jalan yang harus saya lintasi menuju lokasi pembunuhan The Ripper
sepi senyap. Hanya sesekali saja manusia melintas. Tiba-tiba tercium
wangi parfum semerbak ketika saya berpapasan dengan perempuan menor
berparas hispanik di ujung Fashion Street. Mungkin dia hendak ke kelab.
Tak lama, sontak terdengar suara jeritan melengking memecah kesunyian
”Aaarrrgghh…!”
Sial, rupanya sekelompok laki-laki setengah mabuk
tiba-tiba muncul dan menjerit, iseng menakut-nakuti belasan turis yang
juga tengah menyusuri jejak The Ripper.
Perut mulai keroncongan.
Saya akhirnya menyempatkan mampir di Brick Lane, yang dapat dicapai
melalui Fashion Street. Jalan Brick Lane yang sempit itu dipenuhi restoran
masakan Asia dan Timur Tengah. Kawasan ini menjadi kantong imigran
keturunan Banglades sehingga kerap disebut Banglatown. Kali ini,
suasananya lumayan ramai meski bukan malam minggu. Wajah-wajah khas Asia
Selatan tampak di sana-sini.
Seusai menyantap sepiring nasi
dengan kari sayur seharga 4 pounds (Rp 55.000), penyusuran dilanjutkan
ke lokasi yang terakhir, yakni Durward Street, tempat Mary Ann Nichols,
dibunuh. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Lorong maut itu sunyi
senyap! Setiap kali menemui lokasi pembunuhan sesuai petunjuk buku
seperti ada suara yang bergumam di benak, ”Oh.., dia dibunuh di sini”.
Seusai
memotret, kaki pun bergegas menuju Whitechapel High Street, mengejar
bus untuk pulang ke Hendon, di utara London. Masih satu jam perjalanan.
Selesai sudah ketegangan malam in
Tidak ada komentar:
Posting Komentar